Lompat ke isi utama

Berita

ANAK, PEWARIS DEMOKRASI DAN MASA DEPAN

Choirunnia Marzoeki

Choirunnia Marzoeki Koordiv P2HM Bawaslu Kota Bekasi

Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi dan memenuhi hak anak. Namun, dalam konteks demokrasi, pernahkah kita bertanya, apakah anak-anak punya tempat dalam demokrasi kita? apakah suara anak-anak turut didengar dalam pengambilan keputusan disetiap kebijakan negara? Ataukah mereka hanya menjadi objek kebijakan tanpa kesempatan untuk partisipasi aktif? dimana mereka diam, patuh, dan menunggu “waktunya menjadi dewasa”. 

Demokrasi menempatkan rakyat sebagai subjek utama dimana setiap warga negara memiliki hak dan peran dalam menentukan arah bangsa. Menurut Data BPS PerMei 2025 jumlah penduduk Indonesia dengan rentang usia 0-19 tahun berjumlah 31% dan jumlah usia >19 tahun 69%. Angka ini menunjukkan usia anak sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia. Meski anak-anak secara politik dibatasi seperti hak memilih dan dipilih, bukan berarti mereka absen dari proses demokrasi. Anak merupakan bagian dari rakyat yang suara, kebutuhan, dan kepentingannya mesti diperhitungkan. 

Di Indonesia ada perbedaan definisi antara usia anak secara hukum dan usia pemilih dalam demokrasi. Ini menarik, karena ada dua payung hukum yang berbeda yaitu hukum kepemiluan dan hukum perlindungan anak. Undang-undang Perlindungan Anak  No. 35 tahun 2014 jo UU No.23 Tahun 2002 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Jadi secara hukum perlindungan anak, usia 17 tahun masih tergolong anak. Sementara dalam Undang-undang Pemilu No.7 tahun 2017 mengatur bahwa WNI yang telah berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah memiliki hak pilih dalam Pemilu. Artinya, usia 17 tahun atau dibawah 17 tahun yang sudah/pernah  menikah secara politik dianggap cakap untuk menggunakan hak suara.

Hal positif yang bisa diambil dari aturan tersebut adalah memberikan ruang demokrasi pada anak yang berusia 17 tahun. Usia ini umumnya masih duduk di Sekolah Menengah Atas. Namun tantangannya, karena masih dalam kategori “anak” maka mereka berpotensi mudah dimanipulasi dan dimobilisasi secara paksa oleh partai politik, orangtua, guru, atau orang dewasa disekelilingnya yang dapat mengontrol keputusan anak. 

Anak dengan kerentannya sering dianggap “belum paham” atau “masih terlalu kecil” dalam memutuskan. Ini sering terjadi di lingkungan rumah atau keluarga, di sekolah, bahkan di ruang publik. Di lingkungan keluarga misalnya segala keputusan anak ditentukan oleh orangtua, atau dicap anak durhaka ketika anak berbeda pendapat dengan orangtua. Di sekolah ada anak yang dihukum karena bertanya. Sekolah masih menekankan kepatuhan daripada keberanian berpendapat. Begitupun di ruang publik, kita sering mendapatkan berita tentang perundungan, bullying bahkan kekerasan seksual terhadap anak. 

Demokrasi yang sehat tak bisa berdampingan dengan budaya kekerasan. Demokrasi akan tumbuh subur di tempat yang memberi ruang untuk bertanya, berbeda, dan berdiskusi. Demokrasi tidak datang begitu saja, ia perlu dipelajari dan dilatih sejak dini. Kematangan demokrasi dimulai dari anak-anak yang dilatih berpendapat, mendengar, dan menghargai perbedaan. Bukan dari anak-anak yang hanya disuruh ikut aturan tanpa diberi kesempatan bertanya “kenapa”. Kalau sejak kecil mereka dibungkam, kapan mereka belajar jadi warga negara yang kritis?

Negara yang demokratis sejati akan menjamin suara anak terdengar, baik dalam keluarga, sekolah maupun kebijakan publik. Perlindungan terhadap anak dari kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi mencerminkan kedewasaan dan keberpihakan demokrasi pada kelompok rentan dan berkeadilan.

Hari Anak Nasional bukan hanya tentang memberi ucapan dan perayaan. Tapi untuk refleksi tentang demokrasi yang inklusif. Demokrasi sejati bukan hanya milik yang bersuara lantang, tetapi juga mereka yang belum cukup umur untuk memilih namun sudah cukup sadar untuk peduli. Karena masa depan demokrasi ada ditangan meraka. Dan Anak berhak belajar jadi warga negara—mulai dari hari ini.

Selamat Hari Anak Nasional!

Penulis : Choirunnisa Marzoeki 

Foto : Choirunnisa Marzoeki 

Editor : Humas-If

Tag
Bawaslu
Demokrasi
Kota Bekasi
Choirunnisa Marzoeki