Bawaslu: Dari Pengawas ke Katalis
|
Pernahkah Anda membayangkan pemilu tanpa pengawas? Bayangkan saja: kotak suara yang dibuka di tengah hutan, suara pemilih yang "menghilang" seperti hantu, atau hasil rekapitulasi yang berubah lebih cepat daripada status hubungan di media sosial. Kacau, bukan? Untungnya, kita punya Bawaslu — badan yang tugasnya bukan hanya mengawasi, tapi juga memastikan pemilu tetap jadi pesta demokrasi, bukan pesta pora pelanggaran.
Data Bawaslu RI 2024 mencatat, selama Pemilu 2024, ada 4.231 laporan pelanggaran yang ditangani. Angka ini turun 12% dibanding 2019, tapi yang menarik adalah 72% laporan berasal dari partisipasi publik, terutama pemuda. Artinya, Bawaslu tak lagi bekerja sendirian—masyarakat, khususnya anak muda, mulai sadar bahwa mengawal pemilu adalah urusan bersama.
Tapi, Bawaslu bukan sekadar "polisi pemilu" yang sibuk memberi tilang. Mereka juga katalis partisipasi. Hasilnya? Survei LSI menunjukkan partisipasi pemilih 17-25 tahun naik 8% dibanding 2019. Bawaslu paham, cara menarik anak muda bukan dengan jargon kaku, tapi dengan konten kreatif di TikTok dan Instagram.
Transparansi: Bukan Harga Mati, Tapi Modal Dasar
Di tingkat daerah, Bawaslu mulai membuka rekaman rapat pleno secara daring. Di Jawa Barat, misalnya, sebanyak 92% proses penyelesaian sengketa bisa diakses publik. Ini langkah maju, meski tak semua daerah se-transparan itu. Masih ada Bawaslu Kabupaten yang rapatnya seperti rahasia negara—seolah-olah sedang merencanakan misi ke Mars, bukan menyelesaikan sengketa kotak suara.
Di sinilah kolaborasi harus ditingkatkan. Bawaslu Pusat perlu memastikan standar transparansi seragam di semua tingkatan. Jangan sampai ada kesenjangan antara Bawaslu yang sudah "melek digital" dan yang masih berkutat dengan berkertas-kertas usang.
Kolaborasi atau Kolaps?
Bawaslu tak bisa bekerja sendiri. Mereka butuh dukungan KPU, aparat penegak hukum, hingga komunitas sipil. Sayangnya, kadang koordinasi masih tersendat. Contoh? 25% laporan pelanggaran pemilu 2024 lambat ditindaklanjuti karena birokrasi berbelit.
Solusinya? Pertama, perkuat sinergi dengan kepolisian dan kejaksaan. Jangan sampai pelanggaran pemilu diproses lebih lambat daripada kasus viral di media sosial. Kedua, Bawaslu harus lebih agresif melibatkan kampus dan NGO pemantau pemilu. Pemilu bukan hanya urusan elite politik, tapi juga generasi muda yang ingin demokrasi tetap sehat.
Masa Depan Bawaslu: Dari Pengawas Penjaga, Menjadi Katalis Perubahan
Bawaslu sudah membuktikan diri sebagai pengawas yang mumpuni. Tapi tantangan ke depan lebih besar: Menjadi katalis partisipasi publik. Caranya?
Digitalisasi pengaduan hingga ke pelosok—jangan sampai masyarakat harus naik ojek 50 km hanya untuk melapor;
Edukasi pemilih muda lewat konten kreatif—bayangkan jika Bawaslu kolab dengan podcaster atau gamers; dan
Penegakan hukum yang cepat dan tegas—jangan biarkan pelanggar pemilu merasa kebal hukum.
Jika Bawaslu bisa beradaptasi, mereka tak lagi sekadar "pengawas", tapi penjaga nyala demokrasi. Tugas kita adalah memastikan mereka tak bekerja sendirian. Karena pemilu yang baik bukan hanya tanggung jawab Bawaslu, tapi kita semua.
Penulis : Jhonny Sitorus
Editor : Humas- Af